Kemarin Senin mengikuti lagi upacara bendera,ritual yang dari dulu sampai sekarang tidak pernah
saya suka. Kenapa tetep ikut kalo ga suka? Karna saya percaya, sesuatu yang
tidak kau suka belum tentu tidak punya guna. Kondom contohnya. Dan di upacara tersebut, saya melihat
peristiwa yang tidak asing. Kita semua pasti pernah mengalami atau melihatnya
sendiri, siswa disuruh memotong merapikan rambut.
Wajar, dan tidak ada yang salah dengan anjuran tersebut.
Hanya kemudian, itu menimbulkan banyak pertanyaan bagi saya. Kenapa siswa
harus berambut pendek? Apa dasarnya siswa harus berambut pendek? Apa tujuan dan
gunanya siswa berambut pendek?
Jujur, sampai sekarang saya belum pernah menemukan literatur
atau referensi yang bisa menunjukkan bukti ilmiah bahwa ada hubungan antara
rambut pendek dengan kecerdasan siswa. Lalu bila tujuan pendidikan adalah untuk
mencerdaskan, kenapa hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan itu justru
menjadi perhatian? Mungkin ada yang akan menjawab bahwa tidak sepantasnya siswa
sekolah berpenampilan gondrong dan tidak rapi. Oke, fine. Sekarang coba
googling poto para terpidana korupsi negeri ini, adakah mereka yang
berpenampilan gondrong dan tidak rapi? Semua tampil dalam balutan jas bersetrika,
sepatu mengkilap dan berdasi. Sebagian lagi malah ada yang berkerudung berpeci.
Pantas? Klo memang rambut pendek rapi ada hubungannya dengan intelegensia, coba
kita ingat-ingat muka Albert Einstein dan Vicky Prasetyo Sang Statusisasi.
Salah satu temen saya berkata bahwa alasan dia menyuruh
siswa berambut rapi karna waktu dia sekolah dulu juga diharuskan begitu sama
gurunya. Oke, fine (lagi). Sekarang pertanyaannya adalah, buat apa sekolah dan
belajar bila pada akhirnya setiap tindakan hanya berdasar pada pewarisan
tradisi? Buat apa sekolah dan belajar bila pada akhirnya setiap tindakan adalah
peniruan dan pengulangan? Bukankah beda antara ilmu dan pengetahuan ada pada
nalar kritis?
Mungkin ada yang akan jawab bahwa rambut pendek siswa itu
agar penampilannya enak dilihat. Oke, fine (lagi dan lagi). Baiklah, bila
begitu jawabannya maka komparasisasi layout Einstein dan Vikcy masih belum
cukup mempersuram kudeta perasaan. Bila memang itu jawabnya, maka selamat datang
di dunia yang semata-mata berorientasi
pada tampilan, sepenuhnya melandaskan penilaian sampul tanpa peduli muatan.
“Tapitapitapi, klo orangnya cerdas dan rambutnya rapi kan akan lebih bagus?”
Nahhhhh, di sini lah muncul pertanyaan lagi. Term “bagus” itu berkaitan dengan
nilai, dan nilai itu relatif serta subjektif. “bagus” menurut pandangan kita
bukan berarti bagus buat siswa kan, lalu kenapa harus memaksakan “bagus” versi
kita ke siswa? Kenapa tidak kita biarkan saja mereka menemukan arti “bagus”
untuk mereka sendiri, dan menemukan pemahaman lewat pengalaman bahwa gondrong
itu mungkin bagus akan tetapi pendek lebih rapi?
Oh iya, hampir lupa. Bahkan untuk menghadap Tuhan saja kita
tidak pernah dilarang untuk berambut panjang, lalu kenapa saat menghadap guru
harus berambut pendek?
Curhat panjang ini pada akhirnya hanya akan berujung pada
satu pertanyaan, apa korelasi antara rambut pendek dan kecerdasan?
Komentar
Posting Komentar