Langsung ke konten utama

Hangat Sederhana Tanpa Pura-pura



Ada beberapa rasa yang tak berlogika, rasa yang mungkin saja tak terpahami bahkan oleh pengidapnya. Seperti cinta seorang gadis pada laki-laki yang membuatnya menangis padahal di luar sana banyak yang memohon untuk membuatnya bahagia. Atau cinta pada rokok padahal ancaman kanker tak kurang berjuta untuknya. Atau,,, benci pada kondom padahal tiada kuranglah karet tipis itu gunanya.
Setiap kita, mungkin punya rasa itu, entah pada apa. Saya, jatuh pada rasa hangat sederhana yang tanpa pura-pura. Apapun yang berkaitan dengan rasa tersebut, saya ikut. Barusan, saya menemukannya. Menemukan hangat sederhana yang tanpa pura-pura, dan saya ikut.
Begini ceritanya. Seberang hotel tempat saya menginap ada warung kopi 24 jam. Bosan di kamar, iseng menyeberang. Ini adalah warung dengan kultur melayu, jenis yang digambarkan Andrea Hirata dalam novelnya. Ada papan catur, kopi hitam yang dipesan sepanas mungkin, pisang goreng yang sudah digoreng dua kali, obrolan seperti udara yang tidak terlacak darimana asal dan kemana ujungnya, tukang becak yang masih memakai plastik besar pelindung hujannya, dan  penjaga warung yang mendownload lagu Mansur S berjudul “Menangis” melalui opera mini di hape seken seharga Rp. 350 ribu yang baru dibelinya.
Di warung ini, saya bukan Daud Yahya dengan status PNSnya. Bukan juga Daud Yahya dengan dokumen ekspor impornya. Di warung ini, saya dikenal sebagai sopir mobil box yang bolak-balik Bjm-Ktb untuk hidupnya, mengampas istilahnya. Bukan, bukan saya yang menciptakan identitas itu. Penjaga warunglah yang pertama mengira saya sopir, dan itu diamini oleh pengunjung lainnya. Saya, pasrah saja.
Tapi dengan identitas itulah saya menemukan rasa, ada hangat sederhana tanpa pura-pura yang timbul tanpa diminta. Saya ditawari menginap dan tidur di bangku pojok warung, mengobrol dengan keramahan layaknya kawan lama dengan candaan yang sebenarnya jayus tapi semua tertawa. Di sini, sejenak melupa kerasnya egoisme pemogok pada nasib pasiennya, sejenak melupa pada sadapan Australia atau konyolnya pertandingan tinju anak kecil melawan pengacara. Di sini, semua jadi sama, berkumpul dan menikmati hangat sederhana tanpa pura-pura. Dan saya, makan pisang gorengnya habis tiga.
Balik ke hotel, saya berpikir apa yang membuat saya cinta pada rasa hangat sederhana tanpa pura-pura. Tak perlu berpikir lama, terjawab. Ini karna rasa itu menarik bawah sadar saya pada satu cinta. Cinta Mama. Ya. Tak ada yang sehangat dan sesederhana cinta mama yang tanpa pura-pura. Cinta mama yang membuat kita merasa berdiang di hangat api walau sedang berada di gelap dingin terdalam samudera. Cinta mama yang selalu membuat kita merasa kaya walau dengan caranya yang paling sederhana. Cinta mama, yang tak pernah berpura-pura.

Anakmu kangen, Mama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

gerhana

seperti gerhana kini, berjelaga di sini purnama sepotong, penuh dengan kosong tahukah kamu, di sini angin dingin kejam diburunya lilin tengah malam, dikunyahnya hingga padam ditinggalnya dengan gigil cekam disisakannyai api, tapi tanpa sekam dan apa yang bisa kunyala selain gila? karna kau, jauh di sana... (Jogja 16 Juni saat gerhana di atap kos)

Sekedar Bertanya

Kemarin Senin mengikuti lagi upacara bendera,ritual  yang dari dulu sampai sekarang tidak pernah saya suka. Kenapa tetep ikut kalo ga suka? Karna saya percaya, sesuatu yang tidak kau suka belum tentu tidak punya guna. Kondom contohnya.  Dan di upacara tersebut, saya melihat peristiwa yang tidak asing. Kita semua pasti pernah mengalami atau melihatnya sendiri, siswa disuruh memotong merapikan rambut. Wajar, dan tidak ada yang salah dengan anjuran tersebut. Hanya kemudian, itu menimbulkan banyak pertanyaan bagi saya. Kenapa siswa harus berambut pendek? Apa dasarnya siswa harus berambut pendek? Apa tujuan dan gunanya siswa berambut pendek? Jujur, sampai sekarang saya belum pernah menemukan literatur atau referensi yang bisa menunjukkan bukti ilmiah bahwa ada hubungan antara rambut pendek dengan kecerdasan siswa. Lalu bila tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan, kenapa hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan itu justru menjadi perhatian? Mungkin ada yang akan menjawab bahwa