Langsung ke konten utama

Kita pulang Nak, ayah mau cerita...




Kutunjukkan padamu Nak, sebuah desa tempat awal segala asa. Di sini Nak, tak perlu kau nyalakan alarm, sudah ada kokok ayam. Dulu ayah bahkan disiram bila tak bangkit saat muazzin membangunkan alam.

Kuperlihatkan padamu Nak, tentang pematang panjang membentang, di mewah kami punya sawah. Di sana dulu ayah dan pamanmu bermain tanpa jemu, berlepas baju tak peduli lumpur dan panu. Di sana dulu ayah dan pamanmu diberi ilmu, bercocok tanam dan meramu, membedakan rumput, gulma hingga tanaman jamu.

Kutunjukkan padamu Nak, otot kendur kakekmu yang dulu bekerja bak baja, tak pernah didiamkan hanya agar ayah dan pamanmu cukup makan. Kutunjukkan padamu Nak, nenekmu yang kini berkerut luka berdaki, membenamkan kecantikannya pada tanah sedalam kaki hanya agar ayah dan pamanmu bisa tetap bersuka hati sepanjang hari. Kuceritakan padamu Nak, tentang kakek yg bertempur dgn lumpur, tentang nenek yg tetap bersyukur bahkan saat tersungkur, tentang mereka berdua yang berdarah parah tapi tak pernah menyerah karna bagi mereka hanya pada Tuhan lah tempat berpasrah.

Kuceritakan ini padamu Nak, agar kau tahu di mana kaki dan hati kita berdiri. Seperti kakek dan nenekmu yang membiarkan ayah berlari agar tahu kemana kan kembali, kelak juga akan kulepaskan kau terbang agar kau tahu kemana kan pulang.

Disinilah kita Nak, di pematang panjang membentang, di mewah kita punya sawah. Dan bila sampai waktunya nanti, berdirilah, berlarilah, melesatlah, terbanglah. Teruslah berdiri walau nanti luka mendera sampai ke jemari. Teruslah berlari sampai dapat apa yang kau cari. Teruslah melesat, kalahkan kilat, agar kau tahu bagaimana bersukur saat kau menua dan melambat. Teruslah terbang sampai langit menyadarkanmu bahwa tujuan menjadi tinggi adalah supaya kita bisa menunduk, bisa merendahkan hati.

Kuceritakan ini padamu Nak, agar kau tahu tentang jasa mereka yang tak bisa dilapuk masa, tentang hutang yang terbentang lebih panjang dari pematang. Kuceritakan ini padamu Nak, agar kau tahu bahwa kita besar dari asam keringat dan asin air mata, tanpa pernah sedikitpun mereka kembali meminta.

Kuceritakan ini padamu Nak, dengan bangga, di kaki Kakek dan Nenekmu ada surga.



untuk Suriani, Halifah dan Katara Sophie Ameera Yahya




Komentar

Postingan populer dari blog ini

gerhana

seperti gerhana kini, berjelaga di sini purnama sepotong, penuh dengan kosong tahukah kamu, di sini angin dingin kejam diburunya lilin tengah malam, dikunyahnya hingga padam ditinggalnya dengan gigil cekam disisakannyai api, tapi tanpa sekam dan apa yang bisa kunyala selain gila? karna kau, jauh di sana... (Jogja 16 Juni saat gerhana di atap kos)

Hangat Sederhana Tanpa Pura-pura

Ada beberapa rasa yang tak berlogika, rasa yang mungkin saja tak terpahami bahkan oleh pengidapnya. Seperti cinta seorang gadis pada laki-laki yang membuatnya menangis padahal di luar sana banyak yang memohon untuk membuatnya bahagia. Atau cinta pada rokok padahal ancaman kanker tak kurang berjuta untuknya. Atau,,, benci pada kondom padahal tiada kuranglah karet tipis itu gunanya. Setiap kita, mungkin punya rasa itu, entah pada apa. Saya, jatuh pada rasa hangat sederhana yang tanpa pura-pura. Apapun yang berkaitan dengan rasa tersebut, saya ikut. Barusan, saya menemukannya. Menemukan hangat sederhana yang tanpa pura-pura, dan saya ikut. Begini ceritanya. Seberang hotel tempat saya menginap ada warung kopi 24 jam. Bosan di kamar, iseng menyeberang. Ini adalah warung dengan kultur melayu, jenis yang digambarkan Andrea Hirata dalam novelnya. Ada papan catur, kopi hitam yang dipesan sepanas mungkin, pisang goreng yang sudah digoreng dua kali, obrolan seperti udara yang tidak terla

Sekedar Bertanya

Kemarin Senin mengikuti lagi upacara bendera,ritual  yang dari dulu sampai sekarang tidak pernah saya suka. Kenapa tetep ikut kalo ga suka? Karna saya percaya, sesuatu yang tidak kau suka belum tentu tidak punya guna. Kondom contohnya.  Dan di upacara tersebut, saya melihat peristiwa yang tidak asing. Kita semua pasti pernah mengalami atau melihatnya sendiri, siswa disuruh memotong merapikan rambut. Wajar, dan tidak ada yang salah dengan anjuran tersebut. Hanya kemudian, itu menimbulkan banyak pertanyaan bagi saya. Kenapa siswa harus berambut pendek? Apa dasarnya siswa harus berambut pendek? Apa tujuan dan gunanya siswa berambut pendek? Jujur, sampai sekarang saya belum pernah menemukan literatur atau referensi yang bisa menunjukkan bukti ilmiah bahwa ada hubungan antara rambut pendek dengan kecerdasan siswa. Lalu bila tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan, kenapa hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan itu justru menjadi perhatian? Mungkin ada yang akan menjawab bahwa